ZONAHALAL.ID-Di Indonesia, sarung dipakai untuk beragam kebutuhan, dari pakaian santai, acara formal sampai pakaian untuk beribadah. Di Mesir, sarung hanya digunakan orang usai melakukan hubungan suami istri
Sarung, kain dengan jahitan sederhana ini, sangat populer di Indonesia. Rasanya, hampir semua rumah di Indonesia punya setidaknya satu sarung untuk berbagai kebutuhan.
Jika laki-laki muslim ingin salat, sarung menjadi atribut yang kerap dikenakan. Tak hanya untuk beribadah, sarung juga sering dikenakan untuk upacara pernikahan dan acara adat.
Bagi sejumlah orang, sarung bahkan acapkali jadi busana santai yang nyaman untuk dikenakan di rumah atau sekadar untuk menghangatkan diri dari udara malam (kerebongan-Betawi), saat ngobrol bersama tetangga di pos ronda.
Ya, sarung mungkin menjadi pakaian yang paling diterima banyak kalangan. Betapa tidak, potongan sarung yang longgar memungkinkan udara bersirkulasi ke kulit tubuh dan menjaga pemakainya tetap sejuk di tengah iklim yang panas dan lembap seperti di nusantara.
Dalam literatur fashion dunia, sarung atau sarong, diartikan sebagai sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang, untuk menutup bagian bawah tubuh. Nah, saking familiernya sarung, banyak orang mengira, sarung merupakan produk asli Indonesia.
Padahal, jika dirunut sejarahnya, sarung sejatinya berasal dari Yaman. Futah, begitulah penyebutan untuk sarung di sana. Masyarakat Yaman mengenakannya sebagai baju tradisional mereka. Sarung Yaman menjadi salah satu buah tangan khas tradisional dari Yaman, hingga saat ini.
Di Arab, sarung dikenal dengan nama izaar. Lain lagi di Oman, wizaar menjadi nama sebutan untuk sarung. Bisa dibilang, sarung dikenakan di berbagai wilayah mulai dari Semenanjung Arab, Amerika, Afrika, Eropa, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Mulanya, suku Arab Badui menjadi pihak pertama yang mengenakan sarung di Yaman. Sarungnya berbahan kain putih yang dicelupkan ke dalam bahan pewarna yang berwarna hitam.
Model assafi, annaqshah, dan al-kada, adalah beberapa model sarung Yaman. Sarung kerap dipakai oleh para pekerja modern dan para petugas keamanan di Yaman. Berbeda dengan warga Indonesia, warga Yaman tidak memakai sarung hingga mata kaki.
Di jazirah Arab, kain sarung menjadi baju tradisional nelayan yang datang dari Samudera Hindia dan Teluk Persia. Jadi, di wilayah ini, sarung bukan sesuatu yang identik dengan ibadah salat. Bagi orang Turki di abad pertengahan, sarung bahkan menjadi baju tidur.
Bahkan, di Mesir memakai sarung di luar rumah dianggap sebagai 'aib'. Sebab di Mesir, sarung hanya dikenakan oleh orang dewasa sebagai pakaian ketika selesai bersetubuh.
Uniknya, dalam tradisi Islam di tanah air kita, sarung sudah menjadi salah satu kain penting yang meluas di banyak daerah. Sarung menjadi salah satu simbol kehormatan dan kesopanan.
Ia menjangkau banyak usia, mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga para orang tua. Sampai saat ini pun kain sarung seolah menjadi sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari tradisi pesantren.
Di sejumlah daerah di nusantara, bentuk dan corak sarung juga menandakan kelas sosial seseorang dan seberapa penting sebuah acara. Di daerah Melayu, misalnya, ada sarung songket yang disulam dengan benang emas dan perak yang umumnya dikenakan di hajatan khusus seperti acara pernikahan.
Lalu, di wilayah Sumba Timur, hanya orang dengan status bangsawan yang diperbolehkan memakai sarung kain berwarna cerah dengan motif yang rumit. Rakyat biasa, dibatasi oleh satu atau dua warna dengan motif yang juga polos.
Sayangnya, di jaman penjajahan dulu, sarung di mata pemerintahan kolonial dianggap kolot dan primitif. Saat itu, warga Eropa bahkan sempat dilarang menggunakan sarung di hadapan publik.
Padahal, beberapa perempuan Eropa mengakui, sarung merupakan pakaian praktis dan paling nyaman dikenakan di wilayah dengan iklim tropis. Untuk menyiasatinya, di akhir abad 19 muncul tren sarung dengan desain batik yang dipengaruhi gaya Eropa dengan bahan kain yang lebih mewah.
Kini, ada banyak jenis bahan untuk membuat kain sarung, mulai dari katun hingga polyester. Dari segi motif dan warna, kita dapat menemukan banyak macamnya. Mulai dari motif kotak-kotak, garis lurus ke bawah dan ke samping, motif batik sampai pola-pola yang menggabungkan beragam corak. Untuk warna, tak hanya warna monocrom seperti putih dan hitam atau warna alam seperti cokelat atau hijau, tapi juga sudah beragam warna dan gradasi
Semuanya dikembalikan lagi kepada preferensi dan kesukaan masing-masing pengguna sarung. Satu yang terpenting, sarung sampai saat kini masih langgeng dikenakan dari generasi ke generasi di nusantara. Apakah kamu termasuk di antaranya?
Referensi:
M., Zaenuddin H. (2015). Asal-Usul Benda-Benda di Sekitar Kita: Tempo Doeloe. Jakarta: CHANGE.