Oleh: AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat
ZONAHALAL.ID - “ASTAGHFIRULLAH al-adzim. Ya Allah, saya banyak melakukan dosa. Saya pernah menipu dan berbohong. Ya Allah, ubah kelakukan buruk saya dengan akhlak yang mulia. Lipat gandakan amal-amal baik mereka yang saya kecewakan dan pernah saya dzalimi ya Allah. Ya Robbi, bimbinglah hamba yang lemah ini,” ujar seorang bapak usia 45 tahunan yang duduk di samping saya seusai shalat Isya berjamaah.
Suaranya lirih dan tidak keras. Setengah berbisik. Mendengar itu saya terenyuh dan iri atas keberaniannya memohon kepada Allah.
Saya belum melakukan seperti bapak itu. Bahkan sejak itu saya bertanya-tanya: kenapa manusia butuh keluh dan kesah? Benarkah kebahagiaan dan kenikmatan adalah yang paling utama bagi manusia? Atau mengapa manusia membutuhkan sandaran hidup kepada Tuhan?
Berkaitan dengan ini, Jean Paul Sartre (1905-1980)—seorang filsuf asal Perancis—berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada yang disebut Tuhan. Yang ada adalah ketidakmampuan dan rasa takut atas keputusan yang menyertai ketika seseorang menentukan pilihannya.
Sebab banyak kemungkinan pilihan atau harapan-harapannya berada di luar kendali dan kejadian yang tidak diinginkannya. Maka biar tidak stres atas realitas yang tidak sesuai dengan harapannya itu, kata Sartre, orang-orang kemudian bersandar kepada Tuhan sebagai penentu takdir.
Inilah yang oleh Sartre disebut sebuah “pelarian” dari apa-apa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh diri sendiri. Maka menurut Sartre, manusia dan doa-doanya merupakan sebuah hasrat yang sia-sia.
Benarkah itu? Saya tidak menjawab “ya” karena pendirian saya menyatakan tidak. Karena dalam tinjauan ilmu tasawuf disebutkan, mereka yang begitu yakin dan betul-betul memasrahkan dirinya kepada Allah adalah orang yang ma`rifat.
Mereka yang sudah masuk pada tahapan ma`rifat ini memiliki pengetahuan yang tidak bisa diketahui secara nalar (reason) maupun inderawi—karena hanya dirasakan dan diketahui oleh orang yang mengalaminya saja.
Contohnya perasaan cinta seseorang kepada lawan jenis tidak akan dirasakan oleh orang lain, tapi hanya dia yang mengalaminya yang akan merasakan betapa bergelora rasa cinta di hatinya itu.
Begitupun dengan rasa pasrah (berserah diri) yang diwujudkan dalam bentuk doa merupakan sebuah kesadaran yang tinggi kepada Allah Yang Mahasegalanya. Inilah pendapat yang saya kira dapat dibenarkan ke-absahan-nya.
Sebuah kepasrahan maupun berserah diri kepada Allah tidaklah sia-sia. Bagi saya tidak ada yang sia-sia di dunia. Semuanya bermakna dan mengandung hikmah. Buktinya bila kita sedang mengalami sakit pasti ingin sembuh—karena tahu enak dan nikmatnya sehat.
Bahkan dengan sakit itu dokter, perawat, dan apoteker dapat mengais rezeki. Artinya, orang yang sakit bukanlah sedang dapat murka Allah, tapi tengah diberi kesempatan untuk menghidupi kebutuhan hidup dokter, perawat, apoteker dan mereka yang bekerja di klinik maupun rumah sakit.
Karena jika seluruh manusia di dunia ini semuanya sehat maka mereka yang bekerja di klinik dan rumah sakit akan menganggur, atau mungkin beralih profesi. Di sisi lain, dengan sakit berarti kita sedang disadarkan bahwa manusia itu lemah dan tidak berdaya dihadapan Allah.
Bahkan dengan sakitlah kita dapat terhindar dari perbuatan dan tingkah laku keseharian yang dapat menimbulkan dosa—yang kadang tidak kita sadari. Bukankah lebih baik menderita di dunia dari pada nanti di akhirat?
Inilah hikmahnya, ada kehendak Allah yang lebih maslahat di atas keinginan makhluk-Nya—“Katakanlah : tidak akan menimpa kita (suatu musibah) melainkan sudah Allah tentukan bagi kita. Dialah pelindung kita dan kepada Allah jua orang-orang beriman pasrah sepenuhnya (QS At-Thaubah : 51).
Jadi, kepasrahan kita dalam berdoa, berikhtiar, dan menerima musibah merupakan proses yang dapat mendekatkan diri kepada Allah (muraqabatullah). Dan mereka inilah yang akan mendapatkan pahala dari Allah.
Sebab mereka yang menerima dengan penuh kesabaran dan rasa syukur merupakan bukti keimanannya kepada Allah Yang Mahaghaib—Innaka anta allaamul ghuyuub (QS Al-Maidah : 109). Yakni mereka yang mengisi kehidupan dunia ini dengan berbagai macam ibadah. Mereka yang senantiasa bersabar ketika tertimpa musibah dan menganggapnya sebagai ujian dari Allah.
Mereka yang bersyukur atas apa-apa yang mereka punyai dan miliki. Mereka yang selalu memasrahkan segala keresahan, kegelisahan, dan harapan dan cita-citanya kepada Allah. Mereka inilah saya kira ini ibarat petani yang sedang bercocoktanam.
Seorang petani sangat yakin dirinya kelak setelah menebar benih akan memetik hasilnya. Begitu pun dengan mereka yang percaya kepada Allah melalui kepasrahan kepada-Nya akan mendapatkan hasil (pahala) di akhirat nanti.
Dengan demikian, bila seorang muslim bersabar dan bersyukur atas apa pun yang menimpa kehidupannya, maka itu menjadi bukti keimanannya kepada Allah. Karena dengan sabar orang yang beriman tidak akan menyalahkan takdir. Malah ia akan menganggap musibah sebagai ujian dari Allah—dalam rangka menyeleksi Muslim-Muslimah yang berprestasi menurut Allah.
Oleh karena itu, kita harus betul-betul mengoptimalkan diri untuk selalu bersabar dan bersyukur atas apa pun yang menimpa hidup kita. Yakni dengan memasrahkan diri kepada Allah. Sesuai dengan ayat Al-Quran yang dibaca dalam setiap bacaan iftitah sebelum surah Al-Fatihah, yaitu “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS Al-An`am: 162).
Cag!