Assalamu’alaikum wr. wb.
ZONAHALAL.ID-Pak Ustadz, belakangan ini, kerap terdengar kabar perempuan bersuami berbuat serong dengan laki-laki lain. Bahkan, tak jarang yang sampai berbuat di luar batas. Pertanyaan saya, bagaimana jika dari pergaulan terlarang itu, si istri sampai hamil dan melahirkan anak? Kepada siapa anak itu dinasabkan? Mohon penjelasan hukumnya, Ustadz. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
(Hamba Allah, Tangerang)
=====
Jawaban:
Saudara Penanya yang budiman, terima kasih atas pertanyaannya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Dalam salah satu kitabnya, Imam an-Nawawi ulama madzhab Syafi’i telah menjelaskannya. Jika ada seorang perempuan bersuami, kemudian hamil yang mungkin pula disebabkan oleh laki-laki selain suaminya, maka ketika anak itu lahir dinasabkan kepada suaminya.
وان اشتركا في وطئها في طهر فأتت بولد يمكن أن يكون منهما لحق الزوج لان الولد للفراش
Artinya, “Jika ada dua orang laki-laki (suami sah dan selingkuhan istri) yang bersama-sama menggaulinya (istri tersebut) dalam keadaan suci, kemudian si istri hamil (dan melahirkan) anak yang dimungkinkan anak itu berasal salah satu dari kedua laki-laki tadi, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami sahnya, sebab ada hadis, ‘Anak itu milik si empunya ranjang,’ (HR. al-Bukhari-Muslim).” (Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz XVII/410).
Pendapat di atas juga sejalan dengan pendapat al-Qalyubi. Disampaikannya, seorang perempuan yang sudah menikah alias sudah bersuami, kemudian hamil dan melahirkan, maka anaknya itu milik suaminya.
وَإِنْ كَانَتْ مُزَوَّجَةً فَالْوَلَدُ لِلزَّوْجِ
Artinya, “Jika si perempuan bersuami, (kemudian melahirkan anak), maka anak itu milik suaminya,” (Lihat: Hasyiyat Qalyubu wa ‘Umairah, juz III/17).
Hal itu berlaku untuk istri yang bersuami. Berbeda halnya jika si perempuan lajang atau sudah lama tak bersuami, kemudian hamil oleh seorang laki-laki, maka nasab anaknya kepada dirinya sendiri alias kepada ibu.
Berbeda pula jika seorang perempuan tak bersuami hamil, baik perawan maupun janda, kemudian menikah, dan usia pernikahannya sama dengan usia minimal kehamilan, yaitu enam bulan, maka anak tersebut bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya. Demikian seperti yang diungkap oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi.
إذا تزوج امرأة وهي وهو ممن يولد له ووطئها ولم يشاركه أحد في وطئها بشبهة ولا غيرها وأتت بولد لستة أشهر فصاعدا لحقه نسبه ولا يحل له نفيه
Artinya, “Jika seorang perempuan menikah, sementara dirinya dan laki-laki yang menikahinya termasuk orang yang sudah mampu memberi keturunan, juga tidak ada laki-laki lain yang menyertai laki-laki tersebut dalam mencampuri si perempuan tadi, baik secara syubhat maupun selain syubhat, hingga lahirlah seorang anak dengan usia kehamilan enam bulan atau lebih, maka dinasabkanlah anak itu kepada si laki-laki yang menikahinya tadi, dan tidak boleh si laki-laki menolaknya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, juz II/121).
Adapun yang menjadi landasan usia minimal kehamilan selama enam bulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, adalah firman Allah dalam Al-Quran, “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan,” (QS. al-Ahqaf [46]: 15). (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz XVI/74).
Penjelasannya, usia kehamilan dan usia menyapih adalah tiga puluh bulan, sementara usia menyapih adalah dua tahun, sehingga kehamilan minimal adalah selama enam bulan.
Berbeda lagi jika kehamilannya kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkan oleh si perempuan tadi, walaupun ada yang menikah, tetap tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya.
وإن أتت بولد لدون ستة أشهر من وقت العقد انتفى عنه من غير لعان
Artinya, “Jika si perempuan melahirkan anak, sementara kelahirannya kurang dari enam bulan sejak berlangsungnya akad, maka tertolaklah anak tersebut dari laki-laki yang menikahinya tanpa harus ada li’an.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, juz II/120).
Kesimpulannya adalah:
1. Jika perempuan bersuami selingkuh sampai hamil, maka anaknya dinasabkan kepada suami sahnya.
2. Jika perempuan lajang hamil, kemudian dinikah seorang laki-laki, dan kelahirannya memenuhi usia minimal kehamilan semenjak akad, yaitu enam bulan, serta tidak ada laki-laki lain dalam menggaulinya, maka anaknya dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya.
3. Jika perempuan lajang hamil, kemudian dinikah seorang laki-laki, dan usia kelahirannya kurang dari enam bulan semenjak akad, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya.
4. Usia minimal kehamilan adalah enam bulan, sementara usia menyapih adalah dua tahun. Inilah penafsiran Ibnu Abbas dari Q.S. al-Ahqaf ayat 15 yang diambil oleh para ulama Syafi’i.
Dengan demikian dari petikan dan kesimpulan di atas, pertanyaan Saudara dapat terjawab. Kehamilan perempuan yang bersuami akibat perselingkuhan, selama belum diceraikan oleh suaminya, maka anak dari kehamilan itu tetap dinasabkan kepada suaminya. Wallahu a’lam.
Itulah penjelasan kami. Semoga dapat dimengerti. Kami terbuka menerima saran dan masukan. Terima kasih.
Forum Tanya Jawab Fiqih ini dikutip dari laman Kemenag RI