Assalamu’alaikum wr wb.
ZONAHALAL.ID-Saya mau bertanya, Ustadz. Apakah boleh nikah sirri secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua wali perempuan dan orang tua laki-laki dengan tujuan menghindari dosa besar pada saat bertemu? Apakah setelah akad nikah dikatakan mahram—mungkin maksudnya sah sebagai suami-istri? Mohon pencerahannya, Ustadz. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr wb.
(Amelia Tamara).
====
Jawaban
Wa’alaikumussalam wr wb.
Saudari Penanya yang budiman. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Untuk menjawab pertanyaan Saudari Penanya mengenai sah dan tidaknya pernikahan sirri tanpa sepengetahuan orang tua, tentu harus dilihat dari aspek syarat dan rukun pernikahan itu sendiri. Jika terpenuhi, tentu jawabannya sah. Begitu pun sebaliknya.
Sebagaimana diketahui, syarat nikah sendiri tak terlepas dari rukun rukunnya, yaitu calon pengantin pria, calon pengantin wanita, wali, dua saksi, dan redaksi akad. Setelah mengamati pertanyaan Saudari, saya tidak mengetahui secara persis siapa wali yang menikahkan Saudari jika akad nikah dilangsungkan tanpa sepengetahuan orangtua perempuan maupun orang tua laki-laki.
Pasalnya dengan tidak menafikan masalah yang lain, masalah ketiadaan wali kerap muncul terutama ketika ada pasangan yang hendak menikah tanpa sepengetahuan orang tua. Sementara pernikahan tanpa wali hukumnya jelas tidak sah. Ketidaksahannya sangat jelas dinyatakan sampai tiga kali oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya.
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيُّ فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya, “Tidak ada pernikahan tanpa wali. Perempuan mana pun—perawan atau janda—yang menikah tanpa wali, maka nikahnya adalah batal, batal, batal (tidak sah).” (HR. Ahmad).
Perlu diketahui pula, maksud pernikahan sirri bukan berarti pernikahan tanpa wali, melainkan pernikahan yang tidak tercatat resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) alias tidak memiliki akta nikah. Artinya, istilah sirri tetap memenuhi syarat dan rukun pernikahan, hanya saja tidak didaftarkan ke KUA.
Di sini justru kekurangan nikah sirri yang pada akhirnya merugikan pihak perempuan sendiri di kemudian hari, seperti tidak memiliki buku nikah, tidak ada pengakuan hukum positif, kesulitan mengklaim hak nafkah jika ditinggal suami, kesulitan mengurus administrasi kependudukan, sulit mengklaim hak waris jika sengketa di pengadilan, dan sebagainya.
Meski demikian, pernikahan tanpa wali nasab ayah kandung bukan berarti tidak bisa dilangsungkan. Pernikahan masih mungkin dilangsungkan dengan wakil wali atau wali di bawahnya (ab’ad) selama ada taukil atau izin dari wali aqrab-nya. Pasalnya, tidak sembarang pula kakak kandung misalnya atau wali aqrab yang lain menikahkan tanpa seizin ayah kandung yang dalam hal ini orang tua Anda. Sebab, hak kewalian masih melekat padanya. Ketiadaan atau jarak wali aqrab yang jauh tidak serta merta memindahkan hak wali kepada wali ab’ad. Hal itu sejalan dengan dalil yang menyatakan:
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلاَّ بِإِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya, “Tidak boleh dinikahkan seorang perempuan kecuali seizin walinya,” (HR. Malik).
Wali nasab yang jauh justru beralih kepada wali hakim, bukan kepada wali ab’ad, namun tetap dengan sejumlah persyaratan. Antara lain adalah posisi wali nasab cukup jauh, enggan menikahkan, atau terhalang untuk hadir.
وإن غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها
Artinya, “Jika wali tidak ada karena jauh sejauh jarak yang membolehkan shalat, maka si perempuan boleh dinikahkan oleh penguasa (wali hakim). Dan wali yang ada di bawahnya tidak berhak menikahkan. Sebab, hak kewalian masih melekat pada wali yang jauh tadi. Karena itu, seandainya wali jauh tersebut menikahkan di tempatnya, maka akadnya sah. Pasalnya, kesulitan dari dari pihaknya, sehingga digantikan posisinya oleh wali hakim, sebagaimana pula jika ia hadir tetapi tercegah untuk menikahkannya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429).
Berdasarkan petikan di atas, jika posisi wali jauh dan tidak bisa dihubungi, pernikahan bisa dilangsungkan dengan wali hakim. Namun, wali hakim yang menikahkan haruslah wali hakim atau na’ib yang sesuai dengan wilayah tugasnya, serta datang atas nama instansi, bukan atas nama sahabat atau saudara.
Dari pertanyaan yang Saudari Penanya ajukan, yang menjauhi orang tua justru Anda sendiri. Sehingga domisili Anda dipastikan berbeda dengan wali hakim yang berhak menikahkan Anda. Dengan kata lain, ketiadaan wali Anda bukan karena wali yang pergi, tetapi Anda yang menjauhi wali dalam hal ini orang tua Anda, sehingga petugas KUA yang ada di tempat Anda tidak berhak menikahkan Anda.
Kemudian, jika posisi orang tua dan wali Anda jauh serta masih bisa dihubungi, terlebih di zaman komunikasi canggih seperti sekarang, maka ia masih dimungkinkan menikahkan Anda, seperti menikahkan di tempatnya atau mewakilkan.
Namun tentu langkah terbijak Anda adalah memberi tahu rencana pernikahan Anda kepada orang tua, sekaligus memohon izin dan doa restu mereka. Sebab, sudah barang tentu, salah satu kebahagiaan orang tua adalah menyaksikan pernikahan putra atau putri tercintanya. Lagi pula, cepat atau lambat, pernikahan Anda akan diketahui mereka dan khalayak banyak. Daripada memberi tahu di kemudian hari yang beresiko mengundang kecurigaan, tuduhan kurang baik, serta kekecewaan orang tua, lebih baik Anda menyampaikannya sedari awal.
Adapun niatan baik Anda ingin menghindari perbuatan dosa besar pada saat bertemu kekasih Anda, tentu merupakan niatan yang sangat bagus dan mulia, namun niatan yang baik juga harus diiringi dengan cara yang baik pula menurut syariat. Sebab, menikah merupakan ibadah yang tidak terlepas dari ketentuan syariat.
Terlebih jarak Anda dengan orang tua wali Anda tidak jauh. Maka wali hakim pun tidak bisa langsung menikahkan Anda. Sebab, jarak wali yang tidak jauh sama seperti wali yang hadir, sehingga harus diminta izinnya. Demikian seperti yang dikemukakan Syekh Abu Ishaq:
فإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز تزويجها إلا بإذنه لأنه كالحاضر والثاني يجوز للسلطان أن يزوجها لأنه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في سفر بعيد ويستحب للحاكم إذا غاب الولي وصار التزويج إليه أن يأذن لمن تنتقل الولاية إليه ليزوجها ويخرج من الخلاف فإن عند أبي حنيفة أن الذي يملك التزويج هو الذي تنتقل الولاية إليه
Artinya: “Jika wali berada di jarak yang tidak membolehkan qashar shalat, maka di sini ada dua pandangan. Pertama wali hakim tidak boleh menikahkan kecuali seizin wali yang haknya. Kedua wali hakim boleh menikahkan karena sulit dimintai izinnya. Ia diserupakan dengan wali yang jauh. Meski demikian, jika wali tidak ada dan hak kewalian beralih kepada wali hakim, maka hakim tetap disunahkan meminta izin kepada wali yang mendapat peralihan hak kewalian, sebelum menikahkannya. Hal itu demi keluar dari perdebatan. Sebab, menurut Abu Hanifah, yang berhak menikahkan adalah wali aqrab yang mendapat peralihan hak kewalian.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429).
Saudara Penanya yang budiman, demikian jawaban singkat saya mengenai pertanyaan Anda. Mohon maaf jika kurang memadai. Namun, semoga jawaban ini membuka pintu pemahaman Anda mengenai praktik nikah sirri yang Anda tanyakan. Terima kasih. Wallahu a’lam.
Forum Tanya Jawab Fiqih ini dikutip dari laman Kemenag RI