ZONAHALAL.ID - Perkembangan teknologi digital menawarkan dan memberikan banyak kemudahan dalam berbagai bidang. Termasuk untuk transaksi bisnis, jual-beli aneka komoditas dan pembayarannya yang bisa menggunakan pembayaran di belakang atau paylater.
Belakangan ini mengemuka sistem jual-beli dengan pembayaran di kemudian hari, disebut sistem paylater. Dengan cara ini, barang yang dibeli bisa dibayar setelah barang diterima, atau dengan tenggang waktu. Bahkan juga dibayar dengan cara angsuran. Syarat pengajuannya relatif mudah, sedangkan prosesnya pun cepat. Tidak ribet, tidak pula bertele-tele. Sehingga banyak warga masyarakat yang tertarik menggunakannya.
Namun sebagai Muslim saya masih kurang yakin, bahkan juga ragu hukum, tentang kebolehan bisnis dan transaksi dengan sistem Paylater ini dalam tuntunan agama.
Khusus terkait dengan fitur paylater online, Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan fatwa secara khusus tentang hal tersebut. Namun, dalam Ijtima Ulama Tahun 2021, Komisi Fatwa MUI telah memutuskan bahwa pinjaman yang berbasis riba hukumnya haram.
Dilansir dari HalalMUI, Ketua MUI bidang Fatwa, Prof. Dr. Asrorun Niam Sholeh menegaskan layanan pinjaman baik offline maupun online yang mengandung riba, hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan. Apalagi banyak kasus menunjukkan sikap, perilaku dan tindakan perusahaan pinjaman online (pinjol) juga sangat tidak etis.
Bahkan, ada cenderung sikap keras dan kasar terhadap klien atau nasabah yang dianggap menunggak angsuran sampai pada beberapa waktu tertentu. Seperti mempermalukan klien-nasabah dengan menyebarkan data pribadi utang dan tunggakan klien-nasabah yang menunggak kepada publik melalui kontak medsos yang dimiliki klien.
Juga, mengirimkan juru tagih yang berpenampilan sangar, sikap serta perilaku kasar dengan gaya preman, meneror, mengancam, dan “menakutan” bagi klien. Hal tersebut tentu berdampak lebih lanjut jadi sangat meresahkan masyarakat.
Hukum tersebut tidak hanya berlaku pada pinjol saja, tetapi juga berlaku pada seluruh layanan pinjaman baik itu offline maupun online. MUI menegaskan bahwa apabila layanan pinjaman mengandung riba, maka hukumnya adalah haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan. Karena pada dasarnya, aktivitas pinjam-meminjam atau utang-piutang merupakan bentuk akad tabarru’, yakni bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial atau sumbangan.
Sebaliknya, seluruh aktivitas layanan pinjaman baik offline maupun online hukumnya halal jika dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Sebagai umat Islam, alangkah baiknya apabila kita mampu dan memiliki cukup uang untuk dipinjamkan, kita bisa melakukannya untuk orang-orang yang sedang membutuhkan, agar mereka tidak terjerat dengan pinjaman online. Selain itu, memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi orang yang sedang mengalami kesulitan merupakan perbuatan yang dianjurkan atau mustahab.
Seperti diketahui, riba adalah istilah yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti kelebihan atau tambahan. Dalam konteks syariat Islam, riba artinya mengerucut pada kelebihan dari pokok utang. Kelebihan dari pokok utang itulah yang membedakan riba dengan transaksi jual beli yang dikenal dengan ribhun atau laba, di mana kelebihan uang berasal dari selisih dalam jual beli.
Sederhananya, riba adalah tambahan yang disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai imbalan dari peminjam utang. Islam sendiri sudah dengan tegas melarang umatnya melakukan transaksi jual-beli dan utang piutang yang di dalamnya terdapat riba. Larangan ini juga tertulis dalam ayat Al-Qur’an maupun hadist.
Untuk itu, umat Islam sangat disarankan untuk memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah sebelum melakukan transaksi pinjam meminjam agar tidak terjerat layanan pinjaman yang merugikan. “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (Q.S. AlBaqarah, 2: 275).