ZONAHALAL.ID -- Keragaman lembaga fatwa akan berpotensi menimbulkan adanya keragaman fatwa yang akan berdampak pada ketidakpastian hukum. Demikian disampaikan oleh Asrorun Niam Sholeh yang merupakan Guru Besar bidang Ilmu Fikih Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga merupakan Deputi 1 bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga. Ia hadir ahli yang dihadirkan oleh Rega Felix (Pemohon) dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (5/2/2024)
Sebelumnya, Rega mendalilkan pengujian norma Pasal 48 angka 1, angka 19, angka 20 dan angka 32 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Asrorun menyebutkan halal adalah terminologi agama yang menjadi domain agama dan lembaga keagamaan. Fatwa Halal adalah jawaban hukum Islam terhadap masalah-masalah terkait dengan masalah produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika serta barang gunaan. Sebagai produk ijtihad terhadap masalah yang dinamis dan aktual, membuka kemungkinan terjadinya perbedaan pandangan dalam menetapkan jawaban.
Sementara, jaminan produk halal membutuhkan kepastian hukum, jawaban yang tunggal dalam bentuk fatwa oleh lembaga fatwa yang dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat halal.
Asrorun menjelaskan, untuk memberikan jaminan kepastian hukum tersebut dibutuhkan unifikasi fatwa melalui satu lembaga fatwa keagamaan yang diakui oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Berbagai peraturan perundang-undangan mengamanahkan MUI untuk mengemban tugas penetapan fatwa keagamaan untuk tujuan unifikasi fatwa dan jaminan kepastian hukum. Pemberian mandat kepada MUI dilakukan berdasarkan kondisi faktual bahwa MUI merupakan wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dan wadah berhimpun berbagai organisasi kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia.
Selain itu, UU Jaminan Produk Halal sebelum diubah melalui UU Cipta Kerja telah menunjukkan komitmen unifikasi fatwa dan kelembagaan fatwa dengan menegaskan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia. Sementara itu, UU Cipta Kerja mengamanahkan Komite Fatwa yang dibentuk Menteri Agama untuk menetapkan kehalalan produk. Keberadaan Komite Fatwa, di samping bertentangan dengan paradigma simbiotik dalam relasi agama dan negara yang menjadi konsensus nasional, juga menyebabkan ketidakpastian hukum.
“Ketentuan Pasa 33A ini membedakan permohonan sertifikasi halal reguler dengan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal. Penetapan kehalalan produk untuk sertifikasi halal jalur reguler dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia, sedangkan penetapan kehalalan Produk untuk sertifikasi halal yang dilakukan oleh pelaku usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal (atau dikenal publik dengan istilah self declare) dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal,” ungkap Asrorun dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Menurutnya, pembedaan wilayah kewenangan penetapan fatwa dari dua lembaga tersebut, yang didasarkan pada jalur sertifikasi halal (reguler dan self declare/pernyataan halal dari pelaku usaha), justru bertentangan dengan norma agama mengingat halal itu tunggal, tidak bertingkat dan tidak berjenjang. Halal adalah keputusan hukum agama yang bersifat tunggal dan utuh, tidak ada tingkatan halal ringan – halal rumit; tidak dikenal Halal Reguler – Halal dengan Pernyataan, sebagaimana juga tidak dikenal Halal dengan kualitas rendah, sedang, atau tinggi. Kondisi ini bisa menabrak norma agama yang bisa berdampak pada ketidakpastian hukum yang dijamin UUD Negara RI, menurunkan kepercayaan publik, dan merusak ikhtiar jaminan produk halal.
“Adanya ketidakpastian hukum terhadap jaminan produk halal akibat adanya dua lembaga yang menetapkan kehalalal produk itu bukan sekedar potensi, akan tetapi sudah manifes, dan terjadi di tengah masyarakat. Salah satu masalah yang muncul adalah saat Komite Fatwa menetapkan fatwa kehalalan terhadap produk jus anggur merk Nabidz. Produk Nabidz telah mengajukan sertifikasi halal pada 25 Mei 2023 melalui mekanisme self declare dengan pendampingan Proses Produk Halal (PPH) yang dilakukan oleh Pendamping PPH, dana ditetapkan kehalalannya produknya pada 12 Juni 2023 oleh Komite Fatwa yang dibentuk oleh Menteri Agama. Belakangan, sambungnya, muncul kegaduhan di tengah masyarakat karena ternyata itu tidak sesuai dengan fatwa standar halal yang ditetapkan MUI. Komisi Fatwa MUI pun melakukan pemeriksaan, dan ternyata produk tersebut mengandung alkohol, yang sesuai dengan standar fatwa MUI, itu diharamkan, dan tidak bisa disertifikasi halal. Kasus ini mengundang kegaduhan di masyarakat,”ujarnya.
Akibatnya, sambung Asrorun, ada laporan polisi kepada produsen, pemberian sanksi pada pendamping PPH, dan pencabutan sertifikat halal terhadap produk Nabidz. Dualisme lembaga penetapan kehalalan produk yang diatur dalam UU Ciptaker ini terlah secara nyata menyebabkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan kegaduhan di masyarakat, yang jika dibiarkan akan merugikan masyarakat serta menghambat ikhtiar penjaminan produk halal yang dituju oleh Undang-Undang ini. Norma ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Jika pembentukan Komite Fatwa itu didasarkan pada tujuan akselerasi, maka itu tidak cukup menjadi alasan untuk menabrak beberapa asas hukum dan juga norma keagamaan serta konsensus nasional. Di samping itu, kondisi faktual sebagaimana tergambar dalam lampiran keterangan ini, menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan MUI dalam menetapkan kehalalan produk masih sangat besar dibanding dengan produk yang masuk untuk ditetapkan kehalalannya.