Naomi Carissa Intaqta dan Rina Maulidiyah, Auditor LPPOM
ZONAHALAL.ID (Jakarta) -- Bakpia, begitu nama yang melegenda. Camilan ini memiliki berbagai isian dengan berbagai varian. Bagaimanakah sebenarnya aspek kehalalan penganan ini?
Libur sekolah adalah momen yang sangat dinantikan untuk berkumpul bersama keluarga, merayakan waktu selesainya ibadah puasa, dengan mendatangi kota wisata yang memiliki beragam pilihan kuliner dan tempat rekreasi. Solo bisa menjadi salah satu alternatif wisata Anda.
Daerah yang mahsyur sebagai Kota Budaya dan sukma dari Budaya Jawa ini menjadi salah satu dari sepuluh destinasi favorit masyarakat Indonesia di momen liburan. Salah satu oleh-oleh Kota Solo yang sering dicari oleh wisatawan adalah Bakpia. Kue khas Fujian, Republik Tiongkok, ini dibawa dan dilestarikan oleh masyarakat Tionghoa yang menetap di daerah Balong, Kecamatan Jebres, Kota Solo.
Seiring dengan perkembangannya, Bakpia tidak hanya menjadi oleh-oleh Khas Solo untuk warga lokal dan wisatawan, tetapi juga menjadi produk kuliner yang mendunia. Pengrajin Bakpia menjalin kerja sama dengan pemasok dan distributor di berbagai daerah di Indonesia maupun di luar negeri. Hal ini membuat Bakpia semakin mudah ditemukan oleh masyarakat luas. Bakpia juga menjadi bagian penting dari sejarah kuliner Solo dan menjadi salah satu simbol kuliner yang melekat dalam identitas kota ini.
Dilansir dari onosolo.id, Kata “Pia” dalam bahasa Tiongkok berarti kue Sedangkan “bakpia” memiliki arti kata kue dengan isian daging (bak: daging babi). Namun karena berasimiliasi dengan budaya Indonesia yang mayoritas beragama Islam, isian bakpia banyak diganti dengan varian lain, seperti kacang hijau, dan keju.
Keunikan Dan Proses Produksi Bakpia
Bakpia berupa kue yang terdiri dari gulungan kulit panggang dengan isi. Ciri khas utama dari Bakpia adalah adonan kulitnya yang tipis dan kenyal. Kulit bakpia ini dibuat dari campuran tepung terigu, gula pasir, dan minyak goreng, sehingga memberikan tekstur yang lembut saat digigit.
Keunikan lain dari Bakpia terletak pada cara pembuatannya. Kue ini masih diproduksi secara tradisional dengan menggunakan teknik kuno yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini membuat Bakpia begitu istimewa dan bernilai tinggi.
Camilan ini juga memiliki tampilan yang cantik dan menarik. Bakpia biasanya dibentuk menjadi bulat dengan corak khas yang menghiasi permukaan kulitnya. Corak ini dapat berupa bentuk bunga, daun, atau pola-pola lain yang indah. Tampilan yang menarik ini membuat Bakpia cocok sebagai hadiah untuk orang terdekat.
Aspek Kehalalan Bakpia
Dalam pembuatan Bakpia, terdapat beberapa bahan yang menjadi titik kritis kehalalan yang perlu dicermati dengan teliti. Bahan-bahan tersebut antara lain:
1. Tepung Terigu
Tepung terigu menggunakan bahan baku gandum yang jelas kehalalannya. Namun dalam proses pembuatan tepung ini dilakukan fortifikasi untuk menambah kandungan vitamin dan mineralnya. Fortifikan yang umum digunakan adalah zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat. Fortifikan vitamin ini dapat dihasilkan dari proses biotransformasi atau sintesis kimiawi, pada biotransformasi menggunakan mikroorganisme yang diperbanyak dalam suatu media pertumbuhan yang memerlukan sumber karbon dan sumber nitrogen.
Media pertumbuhan dapat berasal dari hewan haram maupun hewan halal yang tidak disembelih sesuai syari’at. Fortifikan lain seperti asam amino L-sistein juga biasa digunakan sebagai pelunak gluten gandum. L-sistein dapat berasal dari hasil ekstraksi rambut manusia, ekstraksi bulu binatang, dan dari produk mikrobial. L-sistein yang berasal dari rambut manusia jelas ber status haram, berdasarkan Fatwa MUI No. 2/MUNAS VI/MUI/2000 penggunaan bagian tubuh diharamkan.
L-sistein dari bulu binatang perlu ditelusuri lebih lanjut, bulu domba dapat diambil saat masih hidup, namun unggas akan kesakitan apabila diambil bulunya sehingga harus disembelih terlebih da hulu, penyembelihan ini harus sesuai syariat. Sementara apabila produk mikrobial diperlukan penelusuran lebih kompleks, mencakup kultur mikroba, bahan media, bahan pemurnian, bahan penolong dan bahan lainnya.
2. Gula
Gula terdapat berbagai macam seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, dan lainnya yang berfungsi sebagai pemanis maupun pengawet pada produk pangan. Gula putih dari nira tebu dihasilkan melalui proses ekstrasi, pemurnian, evaporasi, kristalisasi, sentrifugasi, dan pengeringan.
Pemurnian gula merupakan titik kritis halal, karbon aktif atau resin penukar ion yang biasa digunakan sebagai agen filtrasi dapat berasal dari bahan turunan hewan. Karbon aktif dapat berasal dari tumbuhan, batu bara, bahan kimia, atau tulang hewan.
Pada resin penukar ion perlu diperhatikan apakah menggunakan gelatin sebagai agen dispersant, gelatin dapat berasal dari tulang hewan. Selain itu apabila proses pembuatan gula menggunakan produk mikrobial maka harus dipastikan media yang digunakan adalah media yang halal dan tidak tercemar najis.
3. Minyak Goreng
Titik kritis kehalalan minyak goreng terletak pada fortifikan dan bahan penjernih pada proses pemurnian. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah minyak goreng tidak mudah teroksidasi. Vitamin A pada umumnya dapat dijumpai pada tumbuhan, namun dapat pula dibuat secara sintesis dari bahan kimia.
Penggunaan karbon aktif berfungsi sebagai penjernih minyak goreng. Karbon aktif dapat berasal dari tumbuhan, batu bara, bahan kimia, atau tulang hewan. Jika berasal dari tulang sapi maka perlu dipastikan disembelih sesuai syariat Islam.
4. Isian Bakpia
Saat ini terdapat tujuh varian isian Bakpia, yaitu rasa cokelat, keju, durian, kacang merah, kacang hijau, cokelat keju, dan olahan daging. Untuk isian cokelat, keju, durian, kacang merah, atau kacang hijau dibuat dengan mencampurkan bahan segar, gula pasir, dan air.
Khusus isian keju, proses pembuatannya melibatkan berbagai bahan yang dapat membuat produk olahan susu ini menjadi tidak halal. Keju dibuat melalui berbagai tahapan proses, yang dimulai dari proses penambahan bakteri starter, penambahan enzim penggumpal protein, pembentukan curd, pencetakan dan pengepresan, penambahan garam, serta penyimpanan (pematangan).
Enzim pencerna protein (protease) penting dipakai untuk menggumpalkan keju dan memisahkannya dari whey. Enzim yang dipakai dalam pembuatan keju beraneka ragam, seperti: enzim rennet, pepsin, renin (chemosin), renilase, dan lainnya. Enzim rennet yang dipakai bisa saja berasal dari hasil fermentasi (microbial rennet) maupun dari lambung anak sapi.
Jika berasal dari fermentasi mikroba, media yang dipakai untuk pertumbuhan mikrobanya harus dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan. Jika berasal dari lambung anak sapi, tentu cara penyembelihan menjadi penentu kehalalannya. Jika enzim lain digunakan, maka sumbernya juga menjadi titik kritis kehalalannya. Selanjutnya, starter yang dipakai dalam pembuatan keju merupakan mikroba di mana media yang dipakai untuk menumbuhkannya dapat berasal dari bahan halal maupun haram.
Sementara itu, jika isi bakpia berupa daging, maka harus dipastikan berasal dari daging hewan halal yang disembelih secara syariah. Hal ini perlu diperhatikan, karena pada asalnya isian Bapia adalah daging babi. Hingga saat ini, masih ada produsen Bakpia yang menjadikan daging babi sebagai salah satu variannya.
5. Fasilitas Produksi
Oleh karena itu, fasilitas produksi menjadi hal yang sangat penting. Umumnya, satu merek akan diproduksi dalam satu fasilitas produksi (tempat pencucian, alat masak, dan seterusnya) yang sama. Sehingga jika ada varian daging babi yang diproduksi di fasilitas yang sama, hal ini akan mengontaminasi produk bakpia varian lainnya.
Dengan informasi tersebut di atas, konsumen muslim diharapkan senantiasa berhati-hati dalam memilih produk yang belum memiliki status kehalalan yang jelas. Hal tersebut semata-mata dilakukan untuk menjaga kualitas dan integritas ibadah seseorang, yakni menjaga takwa dan komitmen untuk tidak menjerumuskan diri kepada hal yang haram.