Prof Ni’am: Undang-Undang JPH, Tonggak Revolusioner Sertifikasi Halal

Notification

×

Iklan

buku

Iklan

buku

Prof Ni’am: Undang-Undang JPH, Tonggak Revolusioner Sertifikasi Halal

Selasa, 17 Desember 2024 | 14:21 WIB Last Updated 2024-12-17T07:21:37Z


ZONAHALAL.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh menyebut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) sebagai tonggak revolusioner dalam sertifikasi halal. 


Prof Ni’am, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa Undang-Undang JPH merupakan produk politik yang telah diikhtiarkan selama puluhan tahun. Prof Ni’am menyebut, produk tersebut menjadi gerakan dan terimplementasi dalam konteks kemaslahatan bangsa, khususnya umat Islam. 


‘’Perjuangan merumuskan, membahas, dan menetapkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal itu perjuangan yang tidak (boleh) berhenti karena sudah diundangkan. Sebelum diundangkan kita mengikhtiarkan membangun persepsi dan kesadaran publik, membangun ketergerakan hati para pemegang kekuasaan. Meyakinkan publiK bahwa jaminan produk halal penting,’’ kata Prof Ni’am dalam Silaturahim & Sosialisasi Fatwa Standar Halal bagi Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Komisi Fatwa MUI di Hotel Sahid, Jakarta Pusat. 


Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah, Depok, Jawa Barat, ini menambahkan, di samping untuk memastikan jaminan keagamaan bagi masyarakat Muslim yang menjadi mayoritas di negeri ini, sertifikasi halal juga untuk memastikan bahwa seluruh produk pangan memiliki keamanan dan ketoyyiban. 


Prof Ni’am menuturkan, sebelum Undang-Undang JPH dirumuskan, penerimaan terkait masalah halal belum utuh dan belum solid, serta belum bulat karena masih lonjong. Hal ini disebabkan karena masih ada yang melihat bahwa masalah halal hanya sekedar kepentingan sektoral. 


‘’Tetapi ikhtiar untuk meyakinkan publik bahwa kepentingan halal bagian dari pengakuan kita terhadap hak asasi paling asasi, yaitu soal kesadaran keagamaan dan jaminan negara terhadap praktik keagamaan masyarakatnya yang dijamin oleh konstitusi melalui dakwah halal,’’ sambungnya dikutip dari laman MUI Digital, Selasa (17/12/2024).


Kemudian, pada akhir 2014 terciptanya suatu konsensus yang merumuskan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. ‘’Inilah tonggak revolusioner sertifikasi halal. Akan tetapi dakwah halal tidak berhenti hanya pada komitmen politik pada Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Bagaimana mengimplementasi dan melihat substansi halal di samping soal administrasinya,’’ paparnya. 


Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menuturkan, salah satu poin penting yang bersifat rovolusioner dari undang-undang tersebut ada kewajiban sertifikasi halal. Karena sebelumnya, sertifikasi halal bersifat sunnah atau mubah. Sekarang ini setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal.  


‘’ Jangan sampai keterjebakan kita kepada hal-hal yang bersifat substansi keagamaan melalaikan hal yang bersifat administratif. Atau sebaliknya konsentrasi terhadap hal yang bersifat administratif dalam hal sertifikasi halal menafikan hal-hal substansial keagamaan yaitu terkait penetapan kehalalan,’’ paparnya.  


Oleh karena itu, menurut dia, pertemuan hari ini sangat penting untuk taswiyatul manhaj dan tansiqul harokah upaya untuk meneguhkan pandangan dan gerak Langkah. ‘’Menyamakan persepsi yang harus terus dilakukan. Dinamika terkait berbagai ketentuan produk halal terus dilakukan untuk melakukan penyempurnaan untuk hal yang ideal. Menuju ideal. Pertama yang harus kita samakan persepsinya soal halal soal keagamaan yang bisa mendatangkan aspek sosial ekonomi,’’ paparnya. 


Menurutnya, jangan sampai di balik posisioning halal ada di dimensi ekonomi yang berelasi masalah halal. Karena dari awal dalam konteks keagamaan, halal haram itu menduduki posisi penting, bahkan dia menjadi separuh urusan agama. 


‘’Sedangkan tata Kelola sertifikasi halal untuk menjamin dua maslahah (yaitu) hifdzu ad-din dan hifdzul mal. Memastikan tegaknya ajaran agama. Karena dimensi halal adalah dimensi keagamaan, tetapi pada saat yang sama juga memastikan nilai tambah di bidang ekonomi dan sosial. Ini tugas kita bersama,’’ ungkapnya. 


Aktor Sertifikasi Halal


Dalam Undang-Undang JPH tersebut sudah mengatur bagaimana aktor sertifikasi halal yang diawali dengan kehadiran negara yang bertugas dan berfungsi mengadministrasikan urusan agamanya. Menurutnya, hal inilah konsensus nasional, tetapi pada saat yang sama negara tidak masuk di dalam substansi keagamaan. 


‘’Sejarah taqnin atau sejarah kodifikasi hukum nasional kita, bagaimana menduduki posisi agama dan negara. Kita sudah punya preseden, referensi, dan yurisprudensi. Selama ini posisinya berdirinya beriringan saling melengkapi dan menguatkan. Tidak saling himpit apalagi bertolak belakang,’’ jelasnya. 


Prof Ni’am menuturkan, apabila saling himpit, di dalam teori hukum tata kenegaraan disebut sebagai bentuk integrasi. Menyatunya hukum agama dan negara dia satu. Karena konsepsi negara teokrasi (agama) di mana panduan publiknya dipandu oleh aturan agama secara langsung. 


‘’Tetapi ada kondisi di mana negara memisahkan secara diametral antara urusan publik dan private, urusan negara dan agama. Urusan agama di satu rel, urusan negara di rel lainnya yang tidak boleh saling mengintervensi itu adalah cermin negara sekuler. Kita tidak dua-duanya,’’ ungkapnya. 


Prof Ni’am menjelaskan, Indonesia masuk sebagai negara yang siombiotik, yaitu saling melengkapi dan menguatkan, akan tetapi tahu di mana wilayahnya masing-masing. Misalnya, wilayah yang terkait substansi keagamaan, dibahas, ditetapkan dan diotorisasi oleh ulama dan lembaga agama


‘’Itulah kenapa dalam konteks Undang-Undang Perkawinan misalnya, sejak tahun 1974 lalu dirumuskan perkawinan itu sah dilakukan oleh agama bukan negara. Negara hadir mengadministrasikan, dalam pasal 2, negara mencatatkan aspek administasinya,’’ terangnya. 


‘’Begitu juga dalam konteks jaminan produk halal, ketetapan halal oleh otoritas keulamaan yang diintrodusir oleh Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini adalah MUI, melalui fatwanya. Sementara yang sifatnya administratif mulai dari pendaftaran, bayar membayar hingga penerbitan sertifikasi halal itu adalah fungsi administrasi negara dalam urusan keagamaan yang dijalankan oleh ulil amri dan oleh undang-undang dibentuklah BPJPH,’’ ungkapnya. 


Sebelum penetapan halal, setiap produk diperiksa terlebih dahulu oleh LPH dan auditor halal. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian menjadi pertimbangan dalam penetapan halal setiap produk.